Di tengah maraknya obrolan jamaah Facebookiyyah wa Twitteriyyah tentang ‘Keislaman Patih Gajah Mada’ dan ‘Napoleon Bonaparte,’ sekelompok muda-mudi yang tak cukup sepuluh orang itu lebih memilih menziarahi makam Dato’ Sulaiman.
Jadi jangan berharap akan ada revolusi besar pada mereka, sebab mereka bukanlah muda-mudi yang di pinta oleh Soekarno. Dato’ Sulaiman atau yang lebih jamak di kenal penduduk Tana Luwu dengan sebutan Dato’ Pattimang merupakan tidak benar bet 10 satu penyebar Islam di Sulawesi Selatan di abad XVII, selain Dato Ribandang dan Dato Di Tiro. Tepatnya di Kabupaten Luwu Utara, Kecamatan Malangke, Desa Pattimang.
Desa Pattimang sendiri pernah menjadi Ibukota Kerajaan Luwu pada abad XVI. Memiliki Luas lokasi 7.502 km², dan secara geografis terdapat pada koordinat antara 20°30’45” sampai 2°37’30” LS, dan 119°41’15” sampai 12°43’11” BT Kabupaten Luwu Utara dengan batas administratifBagian Utara berbatasan dengan Sulawesi Tengah, yang merupakan tempat penyebaran Islam oleh syekh Datok Karama, di Bagian Selatan berbatasan dengan Teluk Bone yang merupakan jalan pelayaran penyebaran Islam oleh Dato’ Sulaiman lewat dermaga utama di Cappasolo.
Di Bagian Barat berbatasan Kabupaten Tana Toraja (yang populer dengan tedong bonga/belang dan tempat tinggal tongkonan yang bersifat perahu terbalik), dan Sulawesi Barat yang terbentuk di periode Gus Dur menjabat Presiden ke-4 RI dan terhitung lobby Cultural Ulama Sepuh dan Emha Ainun Nadjib. Sementara di Bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur yang merupakan lokasi tidak benar satu perusahaan tambang nikel terbesar PT Vale (eks PT Inco).
Untuk sampai di Pattimang, rombongan menempuh jarak tidak cukup berasal dari 100 KM, dengan durasi pas 1 jam 30 menit. Rombongan tiba di Pattimang sekitar pukul 16:55 WITA, ini sebab mereka menyita alih titik star berasal dari Kota Palopo yang selagi ini sudah menjadi ibu kota administratif Kerajaan Luwu dan terhitung tempat pendirian Masjid Jami’ Tua.
Saat pusat kerajaan Luwu (Ware’) dipindahkan berasal dari Malangke ke Palopo, Andi Pattiware’ yang bergelar Petta Matinro’e ri Pattimang (1587-1615 M). Datu’ pada zaman itu, memerintahkan untuk sebabkan suatu masjid yang bisa digunakan oleh slot garansi penduduk Palopo untuk menunaikan Shalat secara berjamaah yang letaknya tidaklah jauh berasal dari “Salassae” Istana Luwu.
Masjid itu sendiri dibikin oleh Pong Mante pada th. 1604 Masehi, di mana makamnya terkandung di dalam masjid Jami itu sendiri, tepatnya di bawah mimbar yang besar. Konon batu yang dipakai untuk membangun masjid itu dibawa berasal dari Toraja dengan cara orang-orang berjejer berasal dari Toraja sampai ke Palopo sesudah itu batu-batu itu setebal sekitar 50 cm dioper satu per satu.
Sedangkan bahan yang dipakai untuk merekatkan batu yang satu dengan yang lainnya adalah putih telur yang diambil alih berasal dari Kecamatan Walenrang. Sementara penyangga utama masjid terbuat berasal dari kayu Cenna Gori berdiameter 90 cm dan Sirap sebagai atapnya.
Setiba di Pattimang, tepatnya di lokasi pemakaman, keadaan keluar sepi. Tak satupun petugas yang kami jumpai. Bisa saja sebab kami tiba di sore hari menjelang senja, atau sebab tempat ini sebetulnya terhitung sepi sebab akses kendaraan lazim hanya sekali di dalam sehari.
Akhirnya tidak benar seorang di antara kami memilih menemui juru kunci di rumahnya, pas berada di segi utara makam dengan jarak tempuh sekitar 500 M. Dalam makna luwu nya Mappatabe atauMa Gawe sekaligus mengantar dan mengantar di dalam merapal doa kepada sang pencipta pas ziarah.
Kebesaran yang nyata hanya makam Dato’ Pattimang dan Andi Pattiware. Baruga yang berada di segi kiri alun-alun keluar tak terurus. Ini di tandai dengan langit-langit bangunan makam Dato’ Sulaiman keluar lebih dari satu hampir tanggal.
Sementara makam Andi Pattiware terkesan tak begitu terurus. Bunga-bunga di atas makam tak terlihat, bisa menjadi di sengaja sehingga keluar orisinil. Pun di sekitar makam Andi Pattiware tak kembali ku temui sekawanan Monyet.
Namun menurut juru kunci, monyet-monyet itu ganti di segi timur makam dan bertengger di atas pohon Tarra’ yang besar dan berdaun rimbun. Kalau ketemu, tolong jangan di ganggu, biarkan mereka beraktifitas sebab kami sendiri warga Pattimang tak berani mengganggunya. Begitu tuturnya sambil berjalan.
Pasca siarah, kami tak sempat kembali mengobrol lama dengan sang juru kunci meski niat bertanya begitu besar. Kami hanya menyelesaikan slot bet 200 retribusi jasa parkir dan mengisi buku tamu pas dua laki laki paru baya berkunjung menghampiri.
Satu membawa buku polio dan satunya menggendong tas kecil di dada. pas juru kunci di antar segera oleh tidak benar seorang di antara kami menuju rumahnya, dan kami pun kembali berbalik arah sembari mencari takjil untuk berbuka.
Satuhal yang kami syukuri adalah di Desa Pattimang tak kami jumpai jamah yang mengislamkan orang yang mati di masa Kerajaan Majapahit atau penjajah Nusantara misal Napoleon Bonaparte, terhitung jamaah yang mengkafirkan Ulama dan orang-orang non muslim seperti yang bertebaran di teras dunia maya.